Senin, 14 Desember 2009

POP Art

pop art adalah seni yang berasal dari produksi massal dan hadir untuk memenuhi selera pasar. Mungkin anda juga begitu.

Di buku Pop Art (Basic) keluaran Taschen, definisi ini di-debunk dengan mengeluarkan pernyataan pop art yang sebenarnya, yaitu “Mengkomunikasikan keindahan kepada rakyat awam dengan cara-cara yang mudah dimengerti oleh mereka.”

Itulah kenapa Campbell’s Soup, Komik, Uang dua dollar, Michael Jackson, dan sebagainya dipakai sebagai subjek. Kenapa begitu saja dipakai tanpa ada sentuhan estetika? Karena kalau kita mau jujur, seperti itulah estetika masyarakat awam. Mereka tidak bicara komposisi warna, gradasi, kontras, legibility, dan sebagainya. Mereka hanya ingin sebuah icon yang mereka sukai hadir di tengah-tengah karya seniman terkenal. Dengan media itulah seniman pop art berusaha berkomunikasi dengan masyarakat.

Kenapa definisi pop art jadi seperti itu? Kita tidak bisa menilai pop art begitu saja dari karya yang ada. Kita harus melihat hubungannya dengan estetika di masa lalu.

Sebelum pop art ada, seni adalah milik eksklusif orang-orang kaya, pintar, media, dan para seniman itu sendiri. Mereka menerjemahkan keindahan sesuai dengan teori-teori ideal mereka yang cenderung filosofis dan njlimet. Lalu lahirlah abstrak ekspresionisme. Seperti namanya, keindahan suatu karya abstrak ekspresionisme tidak bisa dinikmati tanpa kita perlu berpikir dan mencerna. Rakyat kecil dianggap sebagai kelompok yang tidak mengerti apa-apa soal keindahan, jangankan untuk menikmati abstrak ekspresionisme.

Thus, keluarlah pemikiran anti kemapanan. Roy Lichtenstein dan kawan-kawan berusaha mengubah keadaan ini dengan rumusan yang bisa membuat seni dan estetika lebih mudah dipahami.

Apakah memang Pop Art itu karyanya para seniman pemalas dan tidak memperhatikan estetika?

Tidak, justru Andy Warhol adalah figur paling menonjol dari dunia commercial art. Dia tahu persis seperti apa seni yang populer dan tidak populer. Eksekusi seperti apa yang bagus. Teknik seperti apa yang bisa dinikmati orang. Dia tahu itu semua dan bisa bikin ratusan karya “komersial”, tapi bukan untuk itu dia masuk ke dunia pop art.

Saya senang sekarang mulai ramai pernyataan sikap “POST-postmodernism” oleh para seniman dan desainer Indonesia. Menurut saya itu pernyataan yang hebat. Dunia kita sudah terlalu jenuh dengan tetek bengek teori yang dibangun oleh filsuf postmodern, karena itu kita butuh perubahan dalam teori estetika.

Tapi satu yang pasti, tidak akan ada breakthrough kalau kita masih bersikeras memakai teori-teori usang dari puluhan tahun yang lalu.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites